Kalau film 5CM membuat Anda ingin mendaki gunung, tetapi film Everest ini akan membuat Anda lompat dari kursi! Film ini mengisahkan tragedi yang pernah terjadi di gunung tertinggi di dunia ini pada tahun 1996. Dan kisah tersebut rupanya menarik sutradara Baltasar Kormakur untuk menceritakan kembali dalam bentuk film layar lebar.
Sang sutradara pun tak tanggung – tanggung untuk langsung mengangkat cerita berdasarkan buku berjudul: Into Thin Air: A Personal Account Of The Mt. Everest Disaster yang dirilis Jon Krakauer. Jon sendiri merupakan salah satu pendaki yang berhasil lolos pada tragedy 1996 lalu.
Ditulis oleh William Nicholson dan penulis ‘Slumdog Millionaire’ Simon Beaufoy, ‘Everest’ berfokus pada pemimpin regu Rob Hall ( Jason Clarke, setelah selesai mengejar Schwarzenegger dalam ‘Terminator Genysis' ) yang memandu timnya untuk sampai di puncak Himalaya.
Di antara anak buahnya adalah Beck Weathers ( Josh Brolin ) dan Doug Hansen ( John Hawkes ) yang paling mencuri perhatian. Jika Beck Weathers adalah seorang dokter berdarah Texas yang “ngototan”, maka Doug Hansen tukang pos yang berusaha keras sampai di puncak untuk usahanya yang kedua.
Pada film tersebut di ceritakan kembali asal mulanya ketika beberapa pendaki yang menjadikan Tenzing Norgay dan Sir Edmund Hillary sebagai inspirasi untuk dapat menjadi pemandu pendakian Gunung Everest.
Semuanya berjalan dengan normal pada awalnya. Hall sudah berjanji kepada istrinya ( Keira Knightley ) untuk pulang sebelum kelahiran anak mereka. Persaingan dengan Scott Fisher ( Jake Gyllenhaal ), sesama guide Everest tidak membuat hubungan pertemanan mereka rusak.
Dan, anak buah Hall termasuk orang - orang yang solid. Sampai akhirnya tiba di puncak dan badai menerjang mereka. Kini mereka hanya bisa bertahan dan berdoa agar Tuhan menyelamatkan mereka.
Duo Nicholson dan Beaufoy membagi ‘Everest’ ke dalam dua bagian. Bagian pertama berjalan lambat, memaksa kita untuk mengenal satu per satu karakternya. Tidak hanya karakter manusianya tapi juga gunung itu sendiri.
Everest mempunyai kesukaran yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata - kata. Selama satu jam kita menjadi lebih terikat dengan karakter - karakternya, dan berharap agar si gunung menjadi lebih baik hati kepada para pendaki itu.
Pada bagian kedua, giliran kita ‘menikmati’ penderitaan nasib yang terpaksa dihadapi oleh karakter - karakter yang sudah telanjur kita sayangi. Adegan - adegan ketika orang yang mereka kasihi menunggu, baik di basecamp ( Emily Watson berperan sebagai mother figure di basecamp ) maupun di rumah, membuat hati kita semakin berdebar setiap kali angin bertiup kencang.
Ujian Di Badai Salju
Namun dengan keahliannya sutradara Kormakur pun mampu menyajikan Film Everest ini dengan gambaran Set yang indah. Film Everest ini pun mampu mengemas setiap tragedy yang terjadi pada tahun 1996 tersebut.
Sayangnya, meskipun Kormakur diberkahi dengan pilihan cast yang luar biasa berbakat, ‘Everest’ berakhir dengan nada minor, dan bukannya entakan gegap gempita. Faktor “berdasarkan kisah nyata” bisa jadi salah satu alasan film ini jadi kurang nendang di bagian ending.
Namun, pada akhirnya meskipun Clarke dan Knightley memberikan chemistry yang menyengat walaupun hanya tampil sekali di awal film, Everest bukanlah film yang berfokus pada emosi. Film ini lebih terfokus kepada pengalamannya.
Film ini memberikan petualangan adrenalin kepada penonton. Meskipun Anda diam di kursi, gambar dari Salvatore Totino akan membuat Anda merasa seperti sedang naik gunung beneran bersama Rob Hall dan kawan - kawan. Pergerakan kameranya mewah dan benar - benar didesain agar penonton bisa ikut merasakan berbabagi sensasi naik Everest.
Tak hanya itu, desain suara dan pewarnaan filmnya akan membuat Anda merasakan kedinginan seperti yang dirasakan para pendaki. Ini adalah sebuah pengalaman penonton yang cukup memorable.
Filmnya mungkin tidak memenuhi kepuasan Anda, seperti yang dijanjikan trailer dan promosinya. Namun, jika Anda ingin menyaksikan sebuah kisah luar biasa tentang orang - orang berdedikasi dalam sebuah film yang secara visual sangat megah, ‘Everest’ adalah film yang Anda cari. Siapkan jaket karena perjalanan kali ini akan sangat menggigilkan.
Dengan hadirnya Film Everest ini tentu menambah deretan film dengan tema perjuangan para pendaki yang berusaha untuk menginjakkan kakinya di puncak Everest.
Sang sutradara pun tak tanggung – tanggung untuk langsung mengangkat cerita berdasarkan buku berjudul: Into Thin Air: A Personal Account Of The Mt. Everest Disaster yang dirilis Jon Krakauer. Jon sendiri merupakan salah satu pendaki yang berhasil lolos pada tragedy 1996 lalu.
Ditulis oleh William Nicholson dan penulis ‘Slumdog Millionaire’ Simon Beaufoy, ‘Everest’ berfokus pada pemimpin regu Rob Hall ( Jason Clarke, setelah selesai mengejar Schwarzenegger dalam ‘Terminator Genysis' ) yang memandu timnya untuk sampai di puncak Himalaya.
Di antara anak buahnya adalah Beck Weathers ( Josh Brolin ) dan Doug Hansen ( John Hawkes ) yang paling mencuri perhatian. Jika Beck Weathers adalah seorang dokter berdarah Texas yang “ngototan”, maka Doug Hansen tukang pos yang berusaha keras sampai di puncak untuk usahanya yang kedua.
Namun tak adil jika hanya mengambil informasi dari satu sudut pandang saja, Sutradara Baltasar Kormakur pun mengulik informasi dari berbagai pihak yang selamat dari kejadian 1996 tersebut.
Dalam buku “Into Thin Air: A personal Account Of The Mt. Everest Disaster” nampak Jon sangat menyudutkan salah seorang pendaki bernama Anatoli Boukreev menjadi penyebab meninggalnya pendaki lain.
Namun faktanya, kejadian tersebut disebabkan oleh badai hebat yang terjadi. Sehingga mengakibatkan kadar oksigen turun hingga mencapai 14% saja dari yang harusnya 30%. Kejadian tersebut pun terjadi pada ketinggian 24.000 kaki.
Semuanya berjalan dengan normal pada awalnya. Hall sudah berjanji kepada istrinya ( Keira Knightley ) untuk pulang sebelum kelahiran anak mereka. Persaingan dengan Scott Fisher ( Jake Gyllenhaal ), sesama guide Everest tidak membuat hubungan pertemanan mereka rusak.
Dan, anak buah Hall termasuk orang - orang yang solid. Sampai akhirnya tiba di puncak dan badai menerjang mereka. Kini mereka hanya bisa bertahan dan berdoa agar Tuhan menyelamatkan mereka.
Duo Nicholson dan Beaufoy membagi ‘Everest’ ke dalam dua bagian. Bagian pertama berjalan lambat, memaksa kita untuk mengenal satu per satu karakternya. Tidak hanya karakter manusianya tapi juga gunung itu sendiri.
Everest mempunyai kesukaran yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata - kata. Selama satu jam kita menjadi lebih terikat dengan karakter - karakternya, dan berharap agar si gunung menjadi lebih baik hati kepada para pendaki itu.
Pada bagian kedua, giliran kita ‘menikmati’ penderitaan nasib yang terpaksa dihadapi oleh karakter - karakter yang sudah telanjur kita sayangi. Adegan - adegan ketika orang yang mereka kasihi menunggu, baik di basecamp ( Emily Watson berperan sebagai mother figure di basecamp ) maupun di rumah, membuat hati kita semakin berdebar setiap kali angin bertiup kencang.
Ujian Di Badai Salju
Pada saat itu akibat perkemahan yang sangat ramai, salah seorang ketua dari grup lain Adventure Consultant dan Scott Fishcer dari Mountain Madness yakni Rob terpaksa harus bergabung. Dengan penggabungan 2 tim ini justru melambatkan perjalanan. Nah, disaat itulah ketangguhan Rob dan Scott beserta tim diuji dengan terpaan badai salju.
Akibat antrian pendaki yang sangat panjang, berakibat menipisnya sumber oksigen. Pendakian menjadi semakin sulit dengan adanya suhu yang ekstrim dan badai salju.
Pendakian yang sangat ekstrim ini menjadi pendakian yang paling menantang bagi para pendaki. Hingga akhirnya, beberapa pendaki pun harus terenggut nyawanya dikarenakan rintangan – rintangan yang selalu hadir.
Namun dengan keahliannya sutradara Kormakur pun mampu menyajikan Film Everest ini dengan gambaran Set yang indah. Film Everest ini pun mampu mengemas setiap tragedy yang terjadi pada tahun 1996 tersebut.
Sayangnya, meskipun Kormakur diberkahi dengan pilihan cast yang luar biasa berbakat, ‘Everest’ berakhir dengan nada minor, dan bukannya entakan gegap gempita. Faktor “berdasarkan kisah nyata” bisa jadi salah satu alasan film ini jadi kurang nendang di bagian ending.
Namun, pada akhirnya meskipun Clarke dan Knightley memberikan chemistry yang menyengat walaupun hanya tampil sekali di awal film, Everest bukanlah film yang berfokus pada emosi. Film ini lebih terfokus kepada pengalamannya.
Film ini memberikan petualangan adrenalin kepada penonton. Meskipun Anda diam di kursi, gambar dari Salvatore Totino akan membuat Anda merasa seperti sedang naik gunung beneran bersama Rob Hall dan kawan - kawan. Pergerakan kameranya mewah dan benar - benar didesain agar penonton bisa ikut merasakan berbabagi sensasi naik Everest.
Tak hanya itu, desain suara dan pewarnaan filmnya akan membuat Anda merasakan kedinginan seperti yang dirasakan para pendaki. Ini adalah sebuah pengalaman penonton yang cukup memorable.
Filmnya mungkin tidak memenuhi kepuasan Anda, seperti yang dijanjikan trailer dan promosinya. Namun, jika Anda ingin menyaksikan sebuah kisah luar biasa tentang orang - orang berdedikasi dalam sebuah film yang secara visual sangat megah, ‘Everest’ adalah film yang Anda cari. Siapkan jaket karena perjalanan kali ini akan sangat menggigilkan.
Dengan hadirnya Film Everest ini tentu menambah deretan film dengan tema perjuangan para pendaki yang berusaha untuk menginjakkan kakinya di puncak Everest.