Soe Hok Hie atau yang lebih akrab dipanggil Gie di lingkungan teman - temannya adalah seorang Intelectual Abortus, seorang intelektual yang mati muda. Meninggal di usia emasnya, yakni 27 tahun Soe Hok Gie meninggalkan banyak cerita.
Ia yang seorang mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, ia yang seorang pendiri Mapala UI, ia seorang penulis, seorang mahasiswa yang kritis dan juga seorang pendaki gunung.
Rasa respektasi terhadapnya karena dua hal, yakni Gie seorang mahasiswa yang kritis dan Gie yang juga seorang pendaki yang meninggal di Semeru. Gie dan Semeru. Dua kata yang tak bisa terlepas terikat satu sama lain. Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu lah tempat berpijak Gie untuk terakhir kali.
“Saya melihat Gie mengerang - erang waktu itu,” begitu tutur Herman O. Lantang, “Gak lama setelah itu dia meninggal. Sebelumnya saya sempat memberikan napas buatan. Pengetahuan saya masih terbatas soal pertolongan keracunanan gas. Tapi, yang saya tahu gas beracun itu lebih rendah. Dan praktis waktu menuju puncak, Gie sering terlihat jongkok dan duduk. Jadi dugaan saya Gie terlalu banyak menghirup gas beracun. Setelah tahu Gie meninggal, saya langsung turun dan meninggalkan jasadnya di atas. Menjelang Cemoro Tunggal, saya lihat Idhan juga mengalami kondisi yang sama seperti Gie.”
“Kalo ditanya siapa orang yang pertama kali mencium Gie ya saya ini,”
Tuturan Herman O. Lantang akan kematian sahabatnya dengan Nomor Registrasi ‘M.007.UI’ itu di Semeru begitu gamblang. Bang Herman, sapaan akrabnya, bisa dikatakan sebagai living legend - nya pendaki gunung Indonesia. Pendiri Mapala UI sekaligus kawan pendakian Gie yang menemaninya hingga detik hidup terakhir, begitu ia dikenal. Persahabatan Soe Hok Gie dan Herman Lantang selayaknya menjadi panutan bagi para pendaki gunung semua.
Ia yang seorang mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, ia yang seorang pendiri Mapala UI, ia seorang penulis, seorang mahasiswa yang kritis dan juga seorang pendaki gunung.
Rasa respektasi terhadapnya karena dua hal, yakni Gie seorang mahasiswa yang kritis dan Gie yang juga seorang pendaki yang meninggal di Semeru. Gie dan Semeru. Dua kata yang tak bisa terlepas terikat satu sama lain. Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu lah tempat berpijak Gie untuk terakhir kali.
“Saya melihat Gie mengerang - erang waktu itu,” begitu tutur Herman O. Lantang, “Gak lama setelah itu dia meninggal. Sebelumnya saya sempat memberikan napas buatan. Pengetahuan saya masih terbatas soal pertolongan keracunanan gas. Tapi, yang saya tahu gas beracun itu lebih rendah. Dan praktis waktu menuju puncak, Gie sering terlihat jongkok dan duduk. Jadi dugaan saya Gie terlalu banyak menghirup gas beracun. Setelah tahu Gie meninggal, saya langsung turun dan meninggalkan jasadnya di atas. Menjelang Cemoro Tunggal, saya lihat Idhan juga mengalami kondisi yang sama seperti Gie.”
Sesaat setelah Gie meninggal Arcopodo 17 Des 69 ( Dokumentasi Herman Lantang ) |
Begitu kelakar Herman Lantang mengenang detik - detik terakhir Gie. Menurut pengakuannya, dia sempat memberikan napas buatan saat Gie mengerang menjelang kematiannya.
“Melihat dia ( Gie ) seperti itu, saya reflek memangkunya dan memberikan napas buatan. Saat itu saya tidak peduli soal gas beracun. Setelahnya, karena saya pun sudah merasa pusing dan hampir lewat ( meninggal ), saya habiskan satu veldples ( botol minum tentara ) air, padahal saya orang yang paling disiplin soal air.” Lanjutnya.
Sesaat sebelum Idhan Meninggal-Herman Lantang dan Idhan Lubis ( dokumentasi Herman Lantang ) |