Lembah kasih ini yang begitu menyejukkan jiwa. Keasrian belum begitu berubah, alas lembahnya yang landai masih ditumbuhi rerumputan hijau yang lembut. Diatas alas rumput masih subur ditumbuhi beribu - ribu pohon edelweis yang tingginya rata - rata satu meter, terdapat sumber mata air jernih yang mengalir. Jarak yang ditempuh menuju Lembah Mandalawangi dari puncak Pangrango tidak terlalu lama, sekitar lima belas menit untuk menuju kesana.
Dan, Mandalawangi - Pangrango adalah tempat yang membuat Soe Hok Gie mencintainya. Sehingga tercipta sebuah puisi untuk Mandalawangi - Pangrango. Alun - alun Mandalawangi di gunung Pangrango adalah tempat favoritnya.
Dia meninggal di gunung Semeru bersama seorang kawannya akibat menghirup gas beracun yang menghembus dari kawah Mahameru, tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke - 27. Pada tahun 1975, makamnya dibongkar dan tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Cita - cita Soe Hok Gie untuk mati di tengah alam betul - betul kesampaian. Cocok dengan ungkapan dari puisi Yunani yang suka dikutipnya; “Nasib terbaik adalah tak dilahirkan. Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe Hok Gie memang mati muda. Tapi semangatnya tetap hidup dan memberi inspirasi pada banyak orang. Sampai saat ini, puisi Mandalawangi - Pangrango menjadi puisi wajib bagi para pendaki gunung.
“Merindukan cahaya bulan yang berbincang dengan hembusan bayu, Merindukan embun yang menetes manja di pucuk - pucuk Edelweis”
Dan, Mandalawangi - Pangrango adalah tempat yang membuat Soe Hok Gie mencintainya. Sehingga tercipta sebuah puisi untuk Mandalawangi - Pangrango. Alun - alun Mandalawangi di gunung Pangrango adalah tempat favoritnya.
Dia meninggal di gunung Semeru bersama seorang kawannya akibat menghirup gas beracun yang menghembus dari kawah Mahameru, tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke - 27. Pada tahun 1975, makamnya dibongkar dan tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Senja itu
Ketika matahari turun ke jurang - jurangmu
Aku datang kembali ke dalam ribaanmu
Dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walau setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima dalam daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintaku dan cintamu adalah kebisuan semesta
Malam itu
Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali dan berbicara padaku
Tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian
Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti
Tanpa kita menawar
Terimalah dan hadapilah
Dan diantara ransel - ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas - batas jurangmu
Aku cinta padamu, Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
by Soe Hok Gie
Cita - cita Soe Hok Gie untuk mati di tengah alam betul - betul kesampaian. Cocok dengan ungkapan dari puisi Yunani yang suka dikutipnya; “Nasib terbaik adalah tak dilahirkan. Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe Hok Gie memang mati muda. Tapi semangatnya tetap hidup dan memberi inspirasi pada banyak orang. Sampai saat ini, puisi Mandalawangi - Pangrango menjadi puisi wajib bagi para pendaki gunung.
“Merindukan cahaya bulan yang berbincang dengan hembusan bayu, Merindukan embun yang menetes manja di pucuk - pucuk Edelweis”