Gorky Di Balik Nama Sabar Sang Pendaki Difabel. Sabar Gorky, ya selama ini kita telah mengenal sebuah nama seorang pendaki tuna daksa dari Solo yang telah berhasil mendaki Elbrus dan Kilimanjaro dengan segala keterbatasan fisik. Luar biasa adalah kata yang bisa disematkan atas petualangan hebatnya. Tetapi tahukah Anda, siapa Gorky di balik nama Sabar?
Sekitar 143 tahun yang lalu, seorang bayi telah lahir di sebuah desa pinggiran sungai Volga, Nizny Novgorod. Anak itu sempat diberi nama Alexey Maximovich Peshkov, sebuah nama pasaran yang sering dipakai banyak orang kampung.
Ia adalah anak yang betul - betul papa dalam arti yang sebenarnya. Orang tuanya fakir dan tinggal di sebuah masyarakat papan bawah. Kemiskinannya bertambah lagi setelah bapak ibunya meninggal saat ia masih dalam usia bermain. Lengkaplah sudah penderitaan.
Setelah menjadi yatim piatu, ia kemudian diasuh oleh kakek dan neneknya yang juga papa harta dan miskin ilmu pengetahuan. Pendidikan tertinggi yang pernah dicapainya hanya di kelas dua sekolah dasar. Kegiatan belajar formal terpaksa harus dihentikan karena memang semua modal tidak dimiliki. Itu sebabnya, ketika usianya menginjak 10 tahun, sang bocah harus mulai mencari makan sendiri untuk mempertahankan hidupnya.
Pertama - tama, ia bekerja di sebuah toko sepatu di kotanya yang kecil. Sebagai buruh kasar, ia melakukan apa saja yang diminta majikannya. Mulai pekerjaan yang mengerahkan otot hingga menjadi asisten tukang pembuat sepatu. Dalam waktu singkat ia sudah mulai bosan bekerja, karena tuntutan jiwanya tidak pernah terpenuhi. Hidupnya terasa hampa tak berisi.
Untunglah, Alyosha, demikian Alexey sering dipaggil di kampungnya, kemudian mendapat tawaran menarik untuk bekerja di sebuah kapal yang melintasi sungai besar di desanya. Meskipun ia juga lebih banyak bermain otot, namun perjumpaan dengan seorang juru masak kapal telah membuat titik balik kehidupannya.
Di sela - sela bekerja, ia sempat diajari membaca dan menulis. Tidak lama berselang, semua buku yang ada di kapal dilahapnya dengan penuh antusias sehingga Alyosha dikenal sebagai anak yang banyak tahu.
Begitu menginjak umur dewasa, dalam diri Alyosha tiba - tiba muncul keinginan untuk melanjutkan pendidikan di universitas. Menurutnya, pendidikan tinggi itu akan mengantarkan dirinya sebagai seorang ilmuwan yang memenuhi selera jiwa dan pikirannya.
Aneka buku di perpustakaan pasti akan dilahapnya. Diskusi dengan teman dan gurunya akan membuahkan pikiran kritis. Tapi, semua itu kandas dan pupus karena pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 sekolah dasar.
Anak muda berbadan tegap dan mulai berkumis ini nyaris saja menyerah kalah. Hampir putus asa. Dalam ketidak pastian pikiran dan hatinya, ia kemudian mengembara, berjalan kaki, menjadi gelandangan ribuan kilometer. Dari ujung utara Rusia hingga pucuk selatan. Disusurinya sungai dan diikutinya langkah laki di antara pedesaan dan hutan. Tidak terasa, ia sempat sampai di Ukraina dan Kaukasus.
Uniknya, karena ia sudah bisa menulis, maka pertemuannya dengan aneka suku bangsa dan pedesaan di Rusia mendorongnya menuliskan aneka cerita tentang kehidupan masyarakat yang warna warni. Kumpulan tulisan itulah yang kemudian melambungkan namanya di kemudian hari.
Menjadikan dirinya seorang penulis yang kondang dan tersohor di Rusia. Dikenal oleh siapapun, dan bahkan mengantarkan dirinya berteman punjangga kelas kakap Leo Tolstoy, Anthon Chekov dan juga politisi kelas dunia Joseph Stalin.
100 tahun kemudian, seorang anak bangsa Indonesia lahir di sebuah kampung, Solo Jawa Tengah. Ia juga papa dalam arti yang sebenarnya. Untuk lebih melengkapi kepapaannya, salah satu kakinya telah lenyap terlindas roda kereta. Jadilah ia pemuda tuna daksa. Sejak itu, ia mengaku sering menerima caci maki masyarakat sekelilingnya.
Tapi anak ini memang lain dari yang lain. Baginya, cemoohan mampu dikonversi menjadi penyemangat hidupnya. Justru menjadi bekal untuk membuktikan bahwa dirinya seorang yang waras dan bisa berprestasi. Dalam batas tertentu, semangat hidupnya melebihi manusia normal.
Sabar, begitu pria ceking ini sering disapa. Kesulitan hidupnya sudah banyak dikisahkan oleh media masa Indonesia, tapi prestasinya yang melambung kurang mendapatkan penghargaan. Ketrampilannya mendaki gunung sering dilecehkan. Bahkan, keinginannya untuk mendaki salah satu gunung bersalju tertinggi di dunia sedikit digubris orang. Ia pantang mundur.
Baginya, perjalanan yang sulit tidak berarti harus dihindari. Badai dingin pucuk Elbrus, katanya, untuk diterjang. Melalui semangat yang membara maka semua impian bisa diwudjudkan. Itulah mengapa, Sabar terus merayap tertatih - tatih dengan crampon buatannya sendiri menuju puncak Elbrus. Ketika temannya mundur, ia maju pantang menyerah, sampai kemudian merah putih ia kibarkan sendiri dengan kedua tangannya. Ia menjadi gagah perkasa di pucuk gunung.
Kini Sabar sudah setara dengan pendaki legendaris Elbrus lainnya. Tidak kalah dengan dua pendaki yang berkaki lumpuh, Vladimir Krupennikov ( 1997 ) dan Yakov London dari Rusia ( 2001 ) ataupun si buta Erik Waihenmayerdari Amerika Serikat ( 2002 ).
Bahkan, Sabar telah menjadi tuna daksa pertama di dunia yang telah mencapai Elbrus. Sekarang, Sabar juga dengan mudah bertegur sapa dengan Presiden, para menteri dan tokoh masyarakat Indonesia.
Menurut catatan sejarah, karena perjalanan hidupnya yang berliku maka Alexey Maximovich Peshkov kemudian mendapatkan panggilan Maxim Gorky, Maxim si empunya hidup pahit. Nama akhir Gorky ( pahit ) yang awalnya merupakan olok - olokan bagi si Maxim kini justru menjadi sebuah julukan bernilai positif. Siapa yang tidak mengenal Maxim Gorky, sang pujangga yang melegenda?
Untuk mengenang kegigihan hidup dan sikap pantang menyerah dalam menggapai gunung tertinggi di Eropa, tuna daksa anak bangsa kita juga layak mendapatkan julukan: Sabar Gorky. Ya, Sabar yang dengan kepahitan hidupnya menjadi inspirasi masyarakat Indonesia.
Sekitar 143 tahun yang lalu, seorang bayi telah lahir di sebuah desa pinggiran sungai Volga, Nizny Novgorod. Anak itu sempat diberi nama Alexey Maximovich Peshkov, sebuah nama pasaran yang sering dipakai banyak orang kampung.
Ia adalah anak yang betul - betul papa dalam arti yang sebenarnya. Orang tuanya fakir dan tinggal di sebuah masyarakat papan bawah. Kemiskinannya bertambah lagi setelah bapak ibunya meninggal saat ia masih dalam usia bermain. Lengkaplah sudah penderitaan.
Alexey Maximovich Peshkov |
Pertama - tama, ia bekerja di sebuah toko sepatu di kotanya yang kecil. Sebagai buruh kasar, ia melakukan apa saja yang diminta majikannya. Mulai pekerjaan yang mengerahkan otot hingga menjadi asisten tukang pembuat sepatu. Dalam waktu singkat ia sudah mulai bosan bekerja, karena tuntutan jiwanya tidak pernah terpenuhi. Hidupnya terasa hampa tak berisi.
Untunglah, Alyosha, demikian Alexey sering dipaggil di kampungnya, kemudian mendapat tawaran menarik untuk bekerja di sebuah kapal yang melintasi sungai besar di desanya. Meskipun ia juga lebih banyak bermain otot, namun perjumpaan dengan seorang juru masak kapal telah membuat titik balik kehidupannya.
Di sela - sela bekerja, ia sempat diajari membaca dan menulis. Tidak lama berselang, semua buku yang ada di kapal dilahapnya dengan penuh antusias sehingga Alyosha dikenal sebagai anak yang banyak tahu.
Begitu menginjak umur dewasa, dalam diri Alyosha tiba - tiba muncul keinginan untuk melanjutkan pendidikan di universitas. Menurutnya, pendidikan tinggi itu akan mengantarkan dirinya sebagai seorang ilmuwan yang memenuhi selera jiwa dan pikirannya.
Aneka buku di perpustakaan pasti akan dilahapnya. Diskusi dengan teman dan gurunya akan membuahkan pikiran kritis. Tapi, semua itu kandas dan pupus karena pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 sekolah dasar.
Anak muda berbadan tegap dan mulai berkumis ini nyaris saja menyerah kalah. Hampir putus asa. Dalam ketidak pastian pikiran dan hatinya, ia kemudian mengembara, berjalan kaki, menjadi gelandangan ribuan kilometer. Dari ujung utara Rusia hingga pucuk selatan. Disusurinya sungai dan diikutinya langkah laki di antara pedesaan dan hutan. Tidak terasa, ia sempat sampai di Ukraina dan Kaukasus.
Uniknya, karena ia sudah bisa menulis, maka pertemuannya dengan aneka suku bangsa dan pedesaan di Rusia mendorongnya menuliskan aneka cerita tentang kehidupan masyarakat yang warna warni. Kumpulan tulisan itulah yang kemudian melambungkan namanya di kemudian hari.
Menjadikan dirinya seorang penulis yang kondang dan tersohor di Rusia. Dikenal oleh siapapun, dan bahkan mengantarkan dirinya berteman punjangga kelas kakap Leo Tolstoy, Anthon Chekov dan juga politisi kelas dunia Joseph Stalin.
100 tahun kemudian, seorang anak bangsa Indonesia lahir di sebuah kampung, Solo Jawa Tengah. Ia juga papa dalam arti yang sebenarnya. Untuk lebih melengkapi kepapaannya, salah satu kakinya telah lenyap terlindas roda kereta. Jadilah ia pemuda tuna daksa. Sejak itu, ia mengaku sering menerima caci maki masyarakat sekelilingnya.
Tapi anak ini memang lain dari yang lain. Baginya, cemoohan mampu dikonversi menjadi penyemangat hidupnya. Justru menjadi bekal untuk membuktikan bahwa dirinya seorang yang waras dan bisa berprestasi. Dalam batas tertentu, semangat hidupnya melebihi manusia normal.
Sabar, begitu pria ceking ini sering disapa. Kesulitan hidupnya sudah banyak dikisahkan oleh media masa Indonesia, tapi prestasinya yang melambung kurang mendapatkan penghargaan. Ketrampilannya mendaki gunung sering dilecehkan. Bahkan, keinginannya untuk mendaki salah satu gunung bersalju tertinggi di dunia sedikit digubris orang. Ia pantang mundur.
Baginya, perjalanan yang sulit tidak berarti harus dihindari. Badai dingin pucuk Elbrus, katanya, untuk diterjang. Melalui semangat yang membara maka semua impian bisa diwudjudkan. Itulah mengapa, Sabar terus merayap tertatih - tatih dengan crampon buatannya sendiri menuju puncak Elbrus. Ketika temannya mundur, ia maju pantang menyerah, sampai kemudian merah putih ia kibarkan sendiri dengan kedua tangannya. Ia menjadi gagah perkasa di pucuk gunung.
Kini Sabar sudah setara dengan pendaki legendaris Elbrus lainnya. Tidak kalah dengan dua pendaki yang berkaki lumpuh, Vladimir Krupennikov ( 1997 ) dan Yakov London dari Rusia ( 2001 ) ataupun si buta Erik Waihenmayerdari Amerika Serikat ( 2002 ).
Bahkan, Sabar telah menjadi tuna daksa pertama di dunia yang telah mencapai Elbrus. Sekarang, Sabar juga dengan mudah bertegur sapa dengan Presiden, para menteri dan tokoh masyarakat Indonesia.
Menurut catatan sejarah, karena perjalanan hidupnya yang berliku maka Alexey Maximovich Peshkov kemudian mendapatkan panggilan Maxim Gorky, Maxim si empunya hidup pahit. Nama akhir Gorky ( pahit ) yang awalnya merupakan olok - olokan bagi si Maxim kini justru menjadi sebuah julukan bernilai positif. Siapa yang tidak mengenal Maxim Gorky, sang pujangga yang melegenda?
Untuk mengenang kegigihan hidup dan sikap pantang menyerah dalam menggapai gunung tertinggi di Eropa, tuna daksa anak bangsa kita juga layak mendapatkan julukan: Sabar Gorky. Ya, Sabar yang dengan kepahitan hidupnya menjadi inspirasi masyarakat Indonesia.