Dataran tinggi Dieng yang berada di Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Jawa Tengah, ini memang dikenal dengan pesona alamnya yang memukau. Keindahan alam serta budaya yang tersimpan, menjadikan tempat ini dikenal dengan sebutan Negeri Para Dewa, seperti penamaan Dieng yang secara etimologi berasal dari dua kata dalam bahasa Kawi; ‘di’ yang berarti gunung dan ‘hyang’ yang berarti dewa.
Satu pemandangan menarik yang segera menyita perhatian wisatawan saat ke Dieng adalah keberadaan anak - anak gimbal, warga sekitar menyebutnya anak - anak gembel. Menurut cerita warga, anak - anak ini merupakan titipan Nyi Ratu ( Ratu Laut Selatan ) dan titisan Mbah Kolodite. Jika anak gimbal laki - laki merupakan titisan Mbah Kolodite, maka yang perempuan merupakan titisan Nini Ronce Kala Prenye.
Mbah Kolodete atau yang lebih sering dipanggil oleh masyarakat Dieng dengan sebutan Kiai Kolodete adalah nama seorang pengelana yang merupakan cikal bakal pemukiman di daerah Pegunungan Dieng.Kiai Kolodete dipercaya sebagai orang yang 'berilmu'. Selain memiliki ilmu yang tinggi,dia juga dikenal sebagai pengayom dan pembela rakyat kecil. Dia disegani para musuh, tetapi dicintai teman dan warganya.
Menurut juru kunci atau pemangku adat, Mbah Ruswanto, Kiai Kolodete datang ke Dieng sekira tahun 1628 M. Ia adalah seorang raja besar di Jawa Timur. Lalu pada peristiwa runtuhnya Majapahit, banyak yang melarikan diri ke Bali, sementara Kiai Kolodete bersama Kiai Karim dan Kiai Walik lari ke Pegunungan Dieng dimana pada saat itu Pegunungan Dieng masih berupa hutan belantara.
“Sebutan kiai ini bukan berarti seperti kiai agama Islam sekarang ini, lebih mengarah sebutan untuk seseorang yang memiliki kesaktian atau kelebihan. Kemudian, ia dipercaya oleh Nyi Ratu Selatan untuk menitipkan anak gembel di daerah Dieng ini,” jelasnya.
Namun, menurut cerita rakyat yang berkembang, datangnya rambut gimbal memang dari Nyi Ratu Selatan yang kemudian dititipkan kepada Kiai Kolodete, hingga nantinya rambut gimbal tersebut kembali ke Nyi Ratu melalui proses pemotongan rambut.
Kiai Kolodete juga memiliki rambut gimbal yang panjang. Ia pernah bersumpah tidak akan mencukur rambutnya hingga kawasan Dataran Tinggi Dieng makmur. Bila keinginannya tidak terkabul, dia akan menitiskan rohnya kepada anak yang baru lahir atau anak yang baru belajar berjalan. Sebagai bukti titisannya, si anak akan berambut gimbal.
Berangkat dari legenda tersebut, warga Dieng menempatkan anak berambut gimbal lebih tinggi dari anak sebayanya. Anak berambut gimbal juga dipercaya memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan dunia maya. Maka jarang orang yang berani sembarangan dengan anak gimbal ini. Keberadaan anak gimbal justru dianggap sangat berkah bagi keluarga.
“Karena datangnya tidak bisa diminta dan tidak bisa pula ditolak, ini merupakan titipan dari leluhur. Untuk itu, bagi orangtua yang mempunyai anak gembel, harus prihatin. Bersiap - siap untuk selalu memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka," kata Mbah Ruswanto.
Uniknya, pada mulanya rambut anak - anak ini tumbuh normal sewaktu lahir. Rambut gimbal bisa dihilangkan melalui prosesi ruwatan yang diadakan secara massal. Rambut gimbal tersebut juga tidak bisa dipotong sembarangan. Rambut sudah bisa dipotong jika si anak sudah akil baligh, dan dengan kemauan anak itu sendiri. Orangtua tidak dapat memaksa mereka untuk potong rambut. Jika dipaksakan, anak tersebut akan terserang sakit parah dan rambut gimbal akan tumbuh lagi.
Tak hanya itu, si anak pun memiliki syarat jika rambutnya ingin dipotong. Apa yang menjadi keinginannya, orangtua harus memberikan. Jika tidak dituruti apa yang menjadi keinginanya, dan rambut gimbal sudah terlanjur dipotong, rambut gimbal dalam waktu tiga bulan kemudian akan kembali tumbuh. Ibaratnya, anak gimbal ini memang sangat istimewa, diperlakukan secara luar biasa dan berbeda dari kebanyakan anak pada umumnya.
Permintaan yang terlontar dari mulut mereka pun dipercaya bukan berdasarkan keinginannya, melainkan dari leluhur. Sehingga apapun yang menjadi keinginan anak gimbal satu dengan yang lain tentulah berbeda, tidak bisa diprediksi. Ada yang meminta seekor kambing, bahkan ada salah satu anak gimbal yang rambutnya sudah sempurna tidak ikut ruwatan karena ia meminta suatu hal yang belum bisa diwujudkan oleh orangtuanya.
Dia adalah Muhammad Alfarizi Masaid (10 ), memiliki rambut gimbal jenis pari kecil seperti padi. Sejak usia 2 tahun, rambut gimbalnya sudah mulai tumbuh hingga kini ia berusia 10 tahun. Rizi merupakan maskot dari anak gimbal yang ada di Dieng berjenis kelamin laki - laki. Karena pada umumnya anak gimbal di Dieng hampir 90 persen berjenis kelamin perempuan.
Dulunya, memang persentase laki - laki dan perempuan seimbang. Namun seiring berjalannya waktu, justru perempuan menjadi sangat dominan yang berambut gimbal. Rizi baru mau diruwat jika saat ruwatan ditampilkan pertunjukan Reog Ponorogo dan barongsai. Ini belum disanggupi oleh kedua orangtuanya, seperti halnya Nisa. Dia belum ingin diruwat karena orangtuanya belum bisa memenuhi keinginannya memiliki akuarium.
Sebelum upacara pemotongan rambut, ada ritual doa di beberapa tempat agar upacara berjalan lancar. Tempat tersebut adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, Komplek Pertapaan Mandalsari ( gua di telaga warna ), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng. Malam harinya akan diadakan upacara jamasan Pusaka, pencucian benda pusaka yang akan dibawa saat arak - arakan anak gimbal.
Prosesi pertama - tama dilakukan dengan mengarak anak gimbal yang akan diruwat. Ketika sesajen sudah siap diusung, para sesepuh sudah mengenakan pakaian Jawa lengkap, orang - orang sudah mulai berdatangan, penari melakukan geraknya, kemudian anak gimbal diantar keluarganya dengan bagian atas kepala mereka diikat kain putih yang melingkar menutupi kening hingga rambut bagian belakang. Gimbal - gimbal dibiarkan tergerai begitu saja. Kemudian, anak - anak gimbal tersebut diarak di sepanjang jalan Dieng Kulon hingga sampai ke kompleks candi untuk segera melalui prosesi pemandian.
Anak - anak gimbal berjejer dipangku orangtuanya. Kemudian, pemangku adat dan sesepuh berdoa di depan sumur. Di sinilah air akan diambil guna dipakai untuk jamasan rambut anak - anak gimbal. Rambut dan wajah mereka dibasuh dengan dedaunan yang dibasahi oleh air dari sumur Sendang Sedayu dengan dicampur kembang 7 rupa.
Setelah proses pemandian selesai, mereka kembali diarak menuju kompleks Candi Arjuna untuk segera melakukan pemotongan rambut. Ada mahar - mahar atau sesajen yang sudah tertata rapi. Sesajian berupa makanan tradisional Dieng, ayam, buah - buahan, yang nantinya selesai acara akan dibagikan kepada masyarakat yang hadir.
Upacara pemotongan rambut berlangsung sekira 30 menit. Penutupan rangkaian acara ruwatan adalah pelarungan rambut gimbal di Telaga warna. Airnya mengalir ke Sungai Serayu dan berhilir di Pantai Selatan di Samudera Hindia. Untuk dikembalikan kepada Nyi Ratu Selatan. src
Satu pemandangan menarik yang segera menyita perhatian wisatawan saat ke Dieng adalah keberadaan anak - anak gimbal, warga sekitar menyebutnya anak - anak gembel. Menurut cerita warga, anak - anak ini merupakan titipan Nyi Ratu ( Ratu Laut Selatan ) dan titisan Mbah Kolodite. Jika anak gimbal laki - laki merupakan titisan Mbah Kolodite, maka yang perempuan merupakan titisan Nini Ronce Kala Prenye.
Mbah Kolodete atau yang lebih sering dipanggil oleh masyarakat Dieng dengan sebutan Kiai Kolodete adalah nama seorang pengelana yang merupakan cikal bakal pemukiman di daerah Pegunungan Dieng.Kiai Kolodete dipercaya sebagai orang yang 'berilmu'. Selain memiliki ilmu yang tinggi,dia juga dikenal sebagai pengayom dan pembela rakyat kecil. Dia disegani para musuh, tetapi dicintai teman dan warganya.
Menurut juru kunci atau pemangku adat, Mbah Ruswanto, Kiai Kolodete datang ke Dieng sekira tahun 1628 M. Ia adalah seorang raja besar di Jawa Timur. Lalu pada peristiwa runtuhnya Majapahit, banyak yang melarikan diri ke Bali, sementara Kiai Kolodete bersama Kiai Karim dan Kiai Walik lari ke Pegunungan Dieng dimana pada saat itu Pegunungan Dieng masih berupa hutan belantara.
“Sebutan kiai ini bukan berarti seperti kiai agama Islam sekarang ini, lebih mengarah sebutan untuk seseorang yang memiliki kesaktian atau kelebihan. Kemudian, ia dipercaya oleh Nyi Ratu Selatan untuk menitipkan anak gembel di daerah Dieng ini,” jelasnya.
Namun, menurut cerita rakyat yang berkembang, datangnya rambut gimbal memang dari Nyi Ratu Selatan yang kemudian dititipkan kepada Kiai Kolodete, hingga nantinya rambut gimbal tersebut kembali ke Nyi Ratu melalui proses pemotongan rambut.
Kiai Kolodete juga memiliki rambut gimbal yang panjang. Ia pernah bersumpah tidak akan mencukur rambutnya hingga kawasan Dataran Tinggi Dieng makmur. Bila keinginannya tidak terkabul, dia akan menitiskan rohnya kepada anak yang baru lahir atau anak yang baru belajar berjalan. Sebagai bukti titisannya, si anak akan berambut gimbal.
Berangkat dari legenda tersebut, warga Dieng menempatkan anak berambut gimbal lebih tinggi dari anak sebayanya. Anak berambut gimbal juga dipercaya memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan dunia maya. Maka jarang orang yang berani sembarangan dengan anak gimbal ini. Keberadaan anak gimbal justru dianggap sangat berkah bagi keluarga.
“Karena datangnya tidak bisa diminta dan tidak bisa pula ditolak, ini merupakan titipan dari leluhur. Untuk itu, bagi orangtua yang mempunyai anak gembel, harus prihatin. Bersiap - siap untuk selalu memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka," kata Mbah Ruswanto.
Uniknya, pada mulanya rambut anak - anak ini tumbuh normal sewaktu lahir. Rambut gimbal bisa dihilangkan melalui prosesi ruwatan yang diadakan secara massal. Rambut gimbal tersebut juga tidak bisa dipotong sembarangan. Rambut sudah bisa dipotong jika si anak sudah akil baligh, dan dengan kemauan anak itu sendiri. Orangtua tidak dapat memaksa mereka untuk potong rambut. Jika dipaksakan, anak tersebut akan terserang sakit parah dan rambut gimbal akan tumbuh lagi.
Tak hanya itu, si anak pun memiliki syarat jika rambutnya ingin dipotong. Apa yang menjadi keinginannya, orangtua harus memberikan. Jika tidak dituruti apa yang menjadi keinginanya, dan rambut gimbal sudah terlanjur dipotong, rambut gimbal dalam waktu tiga bulan kemudian akan kembali tumbuh. Ibaratnya, anak gimbal ini memang sangat istimewa, diperlakukan secara luar biasa dan berbeda dari kebanyakan anak pada umumnya.
Permintaan yang terlontar dari mulut mereka pun dipercaya bukan berdasarkan keinginannya, melainkan dari leluhur. Sehingga apapun yang menjadi keinginan anak gimbal satu dengan yang lain tentulah berbeda, tidak bisa diprediksi. Ada yang meminta seekor kambing, bahkan ada salah satu anak gimbal yang rambutnya sudah sempurna tidak ikut ruwatan karena ia meminta suatu hal yang belum bisa diwujudkan oleh orangtuanya.
Dia adalah Muhammad Alfarizi Masaid (10 ), memiliki rambut gimbal jenis pari kecil seperti padi. Sejak usia 2 tahun, rambut gimbalnya sudah mulai tumbuh hingga kini ia berusia 10 tahun. Rizi merupakan maskot dari anak gimbal yang ada di Dieng berjenis kelamin laki - laki. Karena pada umumnya anak gimbal di Dieng hampir 90 persen berjenis kelamin perempuan.
Dulunya, memang persentase laki - laki dan perempuan seimbang. Namun seiring berjalannya waktu, justru perempuan menjadi sangat dominan yang berambut gimbal. Rizi baru mau diruwat jika saat ruwatan ditampilkan pertunjukan Reog Ponorogo dan barongsai. Ini belum disanggupi oleh kedua orangtuanya, seperti halnya Nisa. Dia belum ingin diruwat karena orangtuanya belum bisa memenuhi keinginannya memiliki akuarium.
Sebelum upacara pemotongan rambut, ada ritual doa di beberapa tempat agar upacara berjalan lancar. Tempat tersebut adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, Komplek Pertapaan Mandalsari ( gua di telaga warna ), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng. Malam harinya akan diadakan upacara jamasan Pusaka, pencucian benda pusaka yang akan dibawa saat arak - arakan anak gimbal.
Prosesi pertama - tama dilakukan dengan mengarak anak gimbal yang akan diruwat. Ketika sesajen sudah siap diusung, para sesepuh sudah mengenakan pakaian Jawa lengkap, orang - orang sudah mulai berdatangan, penari melakukan geraknya, kemudian anak gimbal diantar keluarganya dengan bagian atas kepala mereka diikat kain putih yang melingkar menutupi kening hingga rambut bagian belakang. Gimbal - gimbal dibiarkan tergerai begitu saja. Kemudian, anak - anak gimbal tersebut diarak di sepanjang jalan Dieng Kulon hingga sampai ke kompleks candi untuk segera melalui prosesi pemandian.
Anak - anak gimbal berjejer dipangku orangtuanya. Kemudian, pemangku adat dan sesepuh berdoa di depan sumur. Di sinilah air akan diambil guna dipakai untuk jamasan rambut anak - anak gimbal. Rambut dan wajah mereka dibasuh dengan dedaunan yang dibasahi oleh air dari sumur Sendang Sedayu dengan dicampur kembang 7 rupa.
Setelah proses pemandian selesai, mereka kembali diarak menuju kompleks Candi Arjuna untuk segera melakukan pemotongan rambut. Ada mahar - mahar atau sesajen yang sudah tertata rapi. Sesajian berupa makanan tradisional Dieng, ayam, buah - buahan, yang nantinya selesai acara akan dibagikan kepada masyarakat yang hadir.
Upacara pemotongan rambut berlangsung sekira 30 menit. Penutupan rangkaian acara ruwatan adalah pelarungan rambut gimbal di Telaga warna. Airnya mengalir ke Sungai Serayu dan berhilir di Pantai Selatan di Samudera Hindia. Untuk dikembalikan kepada Nyi Ratu Selatan. src