Sebuah kisah nyata yang tak terduga mengenai ikatan manusia dan Orangutan dari lebatnya hutan di Kalimantan. Kisah dari seorang ahli Primata, Agustin Fuentes, penerima hibah National Geographic. Kepakaran: Ahli Primatologi. Berikut kisah menurut beliau.
Saya tak lagi tersesat. Kini saya selalu membawa GPS. Tetapi dua dekade lalu di Camp Leakey, sebuah kamp penelitian Orangutan di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, hutan hujan adalah tempat yang sukar dipahami.
Saya sedang mencari lutung merah. Suatu hari, setelah empat jam mengikuti jalur yang ditandai, saya kira saya melihatnya. Saya mengambil risiko dan keluar dari jalur. 45 menit kemudian, saya masih berkeliaran, tak melihat seekor pun lutung merah.
Saya berasumsi bahwa jalurnya pastilah ada di dekat saya. Jadi saya menggunakan kompas untuk menebak - nebak. 30 menit kemudian, saya belum panik, tapi yang pasti saya agak gugup. Saya membawa senter kepala, tetapi kegelapan datang dengan cepat dan membuat saya semakin sulit menemukan jalan pulang.
Saya mencari arah selatan yang ditunjukkan Kompas. Saya pikir, pada akhirnya saya akan mencapai sungai, jika bukan sebuah jalan setapak lebih dulu. Dan berhasil. Setelah 20 menit, akhirnya saya menemukan jalan setapak yang belum ditandai.
Beberapa detik kemudian, saya mendengar gemerisik. Saya pikir itu babi liar atau kucing hutan kecil. Saya arahkan senter ke sumber suara. Ternyata Orangutan.
Wajahnya tampak tak asing: salah satu anggota yang direhabilitasi di kamp. Kami saling berpandangan, dan ia mengulurkan satu tangan ke arah saya. Kemudian ia menuntun saya, tangan kami berpegangan, menuju kamp. Sama seperti saya, ia bermaksud kembali ke sana. Ng
Saya tak lagi tersesat. Kini saya selalu membawa GPS. Tetapi dua dekade lalu di Camp Leakey, sebuah kamp penelitian Orangutan di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, hutan hujan adalah tempat yang sukar dipahami.
Saya sedang mencari lutung merah. Suatu hari, setelah empat jam mengikuti jalur yang ditandai, saya kira saya melihatnya. Saya mengambil risiko dan keluar dari jalur. 45 menit kemudian, saya masih berkeliaran, tak melihat seekor pun lutung merah.
Saya berasumsi bahwa jalurnya pastilah ada di dekat saya. Jadi saya menggunakan kompas untuk menebak - nebak. 30 menit kemudian, saya belum panik, tapi yang pasti saya agak gugup. Saya membawa senter kepala, tetapi kegelapan datang dengan cepat dan membuat saya semakin sulit menemukan jalan pulang.
Saya mencari arah selatan yang ditunjukkan Kompas. Saya pikir, pada akhirnya saya akan mencapai sungai, jika bukan sebuah jalan setapak lebih dulu. Dan berhasil. Setelah 20 menit, akhirnya saya menemukan jalan setapak yang belum ditandai.
Beberapa detik kemudian, saya mendengar gemerisik. Saya pikir itu babi liar atau kucing hutan kecil. Saya arahkan senter ke sumber suara. Ternyata Orangutan.
Wajahnya tampak tak asing: salah satu anggota yang direhabilitasi di kamp. Kami saling berpandangan, dan ia mengulurkan satu tangan ke arah saya. Kemudian ia menuntun saya, tangan kami berpegangan, menuju kamp. Sama seperti saya, ia bermaksud kembali ke sana. Ng