Jalak Gading atau Anis Gading ( Turdus poliocephalus Stresemanni Bartels ) lebih dikenal sebagai burung ikonnya Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh para pendaki maupun para peziarah gunung tersebut. Hingga di Gunung Lawu dikenal dengan nama Anis Ras Lawu. Apa keistimewaan dari burung yang bersahabat dengan pendaki itu?
Jalak Gading dikenal sebagai burung “penunjuk jalan” menuju Puncak Hargo Dumilah dan Puncak Hargo Dalem Gunung Lawu. Tetapi, salah satu burung dari 49 subspesies keluarga Anis Gunung ini bisa temukan juga di Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Meskipun populasinya tak sebanyak di Lawu.
Keberadaan burung tersebut terutama di jalur pendakian setelah Pos III Batu Tulis ( 2.590 Mdpl ) hingga Pos IV atau Sabana 1 ( 2.770 Mdpl ). Bahkan bisa terlihat menjelang Pos 2jalur Wekas, Kabupaten Magelang.
Burung ini, seperti banyak disebut, memang mirip penunjuk jalan. Dia kadang melompat - lompat di jalur pendakian di depan kita searah jalur yang dituju, kemudian terbang ke pohon terdekat. Jarak dengan pendaki pun tak jauh, kadang hanya satu meter di depan kita.
Di Sabana I Merbabu sering nampak Jalak Gading ini berjalan - jalan sambil mengais rerumputan dan mematuki remah - remah makanan yang berserak di dekat tenda pendaki. Burung - burung ini seolah tak terusik. Para pendaki yang tengah duduk - duduk di depan tenda pun akan membiarkannya berkeliaran.
Akrabnya Jalak Gading dengan para pendaki barangkali karena selain mereka tak diganggu, para pendaki menjadi “pemasok” makanan yang tak henti - hentinya. Bahkan melimpah. Sebut saja remah mi instan, sisa nasi, remah biskuit atau roti.
Jalak Gading atau Anis Gading memang lebih menyukai beraktivitas di lingkungan yang memiliki sumber pakan yang melimpah. Dan pos perhentian di jalur pendakian, seperti di Sabana 1 Merbabu berciri seperti itu.
Menyimpan Memori Kuat Tentang Para Pendaki.
Mengapa Jalak Gading menjadi akrab dengan pendaki, bahkan seakan menjadi penunjuk jalan? Para pendaki, manusia, diingatnya sebagai sosok bersahabat. Sebab, menyediakan makanan, bahkan berlimpah, bagi mereka.
Maka, burung - burung ini pun member imbalan keakraban dan “jasa menunjukkan jalan” bagi pendaki. Dan memang, hampir tak terdengar kabar pendaki tersesat karena mengikuti panduan Si Gading selama menuju puncak atau kembali turun.
Balutan Mistis Anis Ras Lawu
Tak seperti temannya yang menghuni Gunung Merbabu yang biasa - biasa saja, burung Jalak Gading di Gunung Lawu bagai menjadi ikon. Selain sangat dikenal dan diakrabi pendaki dan peziarah, Jalak Gading Gunung Lawu atau ada juga yang menyebut Jalak Lawu atau Anis Ras Lawu, burung ini dilekati cerita mistis.
Cerita mistis tentang Jalak Lawu ini sudah hidup berpuluh tahun. Mitos yang selama ini berkembang dalam masyarakat lereng Lawu antara lain keyakinan bahwa Jalak Lawu merupakan burung peliharaan Prabu Brawijaya V ( Raja terakhir Majapahit ), yang konon moksa di Gunung Lawu.
Itu sebabnya, Anis Ras Lawu atau Jalak Lawu tak boleh diganggu. Bahkan ada larangan dan pantangan tak tertulis yang berkembang di masyarakat setempat yang ditujukan kepada para pendatang, termasuk para pendaki gunung.
Mereka dilarang mengganggu burung ini, baik mengusir, melemparinya dengan batu, atau menangkap. Bagi yang melanggar, maka akan muncul berbagai musibah selama pendakian, minimal tersesat dan hilang.
Itulah mitos yang diyakini masyarakat lereng Lawu. Soal benar dan tidak bukan menjadi masalah besar. Yang pasti cerita mistis ini bisa kita tangkap sebagai kearifan lokal untuk menjaga kelestarian si Jalak Gading atau si Jalak Lawu atau si Anis Ras Lawu.
Bukankah jauh lebih baik menjaganya sebagai kekayaan alam, menjaganya sebagai teman akrab, yang karena itu burung ini telah “berjasa” menjadi penunjuk jalan bagi puluhan ribu pendaki, sejak puluhan tahun silam?
Semestinya pula, tanpa disemati cerita mistis pun, jauh lebih baik dan arif jika kita, para pendaki, tidak mengganggu apalagi menangkapnya, termasuk mengambil apa yang ada di gunung. Apalagi hanya untuk kesenangan.
Ingat: Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar, jangan membunuh sesuatu kecuali waktu, dan jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. src
Jalak Gading dikenal sebagai burung “penunjuk jalan” menuju Puncak Hargo Dumilah dan Puncak Hargo Dalem Gunung Lawu. Tetapi, salah satu burung dari 49 subspesies keluarga Anis Gunung ini bisa temukan juga di Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Meskipun populasinya tak sebanyak di Lawu.
Keberadaan burung tersebut terutama di jalur pendakian setelah Pos III Batu Tulis ( 2.590 Mdpl ) hingga Pos IV atau Sabana 1 ( 2.770 Mdpl ). Bahkan bisa terlihat menjelang Pos 2jalur Wekas, Kabupaten Magelang.
Burung ini, seperti banyak disebut, memang mirip penunjuk jalan. Dia kadang melompat - lompat di jalur pendakian di depan kita searah jalur yang dituju, kemudian terbang ke pohon terdekat. Jarak dengan pendaki pun tak jauh, kadang hanya satu meter di depan kita.
Di Sabana I Merbabu sering nampak Jalak Gading ini berjalan - jalan sambil mengais rerumputan dan mematuki remah - remah makanan yang berserak di dekat tenda pendaki. Burung - burung ini seolah tak terusik. Para pendaki yang tengah duduk - duduk di depan tenda pun akan membiarkannya berkeliaran.
Akrabnya Jalak Gading dengan para pendaki barangkali karena selain mereka tak diganggu, para pendaki menjadi “pemasok” makanan yang tak henti - hentinya. Bahkan melimpah. Sebut saja remah mi instan, sisa nasi, remah biskuit atau roti.
Jalak Gading atau Anis Gading memang lebih menyukai beraktivitas di lingkungan yang memiliki sumber pakan yang melimpah. Dan pos perhentian di jalur pendakian, seperti di Sabana 1 Merbabu berciri seperti itu.
Menyimpan Memori Kuat Tentang Para Pendaki.
Mengapa Jalak Gading menjadi akrab dengan pendaki, bahkan seakan menjadi penunjuk jalan? Para pendaki, manusia, diingatnya sebagai sosok bersahabat. Sebab, menyediakan makanan, bahkan berlimpah, bagi mereka.
Maka, burung - burung ini pun member imbalan keakraban dan “jasa menunjukkan jalan” bagi pendaki. Dan memang, hampir tak terdengar kabar pendaki tersesat karena mengikuti panduan Si Gading selama menuju puncak atau kembali turun.
Balutan Mistis Anis Ras Lawu
Tak seperti temannya yang menghuni Gunung Merbabu yang biasa - biasa saja, burung Jalak Gading di Gunung Lawu bagai menjadi ikon. Selain sangat dikenal dan diakrabi pendaki dan peziarah, Jalak Gading Gunung Lawu atau ada juga yang menyebut Jalak Lawu atau Anis Ras Lawu, burung ini dilekati cerita mistis.
Cerita mistis tentang Jalak Lawu ini sudah hidup berpuluh tahun. Mitos yang selama ini berkembang dalam masyarakat lereng Lawu antara lain keyakinan bahwa Jalak Lawu merupakan burung peliharaan Prabu Brawijaya V ( Raja terakhir Majapahit ), yang konon moksa di Gunung Lawu.
Itu sebabnya, Anis Ras Lawu atau Jalak Lawu tak boleh diganggu. Bahkan ada larangan dan pantangan tak tertulis yang berkembang di masyarakat setempat yang ditujukan kepada para pendatang, termasuk para pendaki gunung.
Mereka dilarang mengganggu burung ini, baik mengusir, melemparinya dengan batu, atau menangkap. Bagi yang melanggar, maka akan muncul berbagai musibah selama pendakian, minimal tersesat dan hilang.
Itulah mitos yang diyakini masyarakat lereng Lawu. Soal benar dan tidak bukan menjadi masalah besar. Yang pasti cerita mistis ini bisa kita tangkap sebagai kearifan lokal untuk menjaga kelestarian si Jalak Gading atau si Jalak Lawu atau si Anis Ras Lawu.
Bukankah jauh lebih baik menjaganya sebagai kekayaan alam, menjaganya sebagai teman akrab, yang karena itu burung ini telah “berjasa” menjadi penunjuk jalan bagi puluhan ribu pendaki, sejak puluhan tahun silam?
Semestinya pula, tanpa disemati cerita mistis pun, jauh lebih baik dan arif jika kita, para pendaki, tidak mengganggu apalagi menangkapnya, termasuk mengambil apa yang ada di gunung. Apalagi hanya untuk kesenangan.
Ingat: Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar, jangan membunuh sesuatu kecuali waktu, dan jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. src